
Menakar Fondasi, Menguji Konsistensi
Sukabumi, 20 Juni 2025 – Pasca Seratus hari pertama kepemimpinan, periode simbolis untuk mengukir arah, telah berlalu bagi Walikota Sukabumi, Ayep Zaky. Masa ini menjadi penanda bukan hanya konsolidasi struktur, tetapi juga ujian atas kapasitas respons pemerintah kota terhadap ekspektasi publik dan kompleksitas persoalan. Artikel ini menganalisis kinerja pasca 100 hari tersebut, menilik esensi kebijakan dan menghadapi kritik substantif.
Konsolidasi Internal, Peningkatan PAD dan Pelayanan Publik
Periode awal kepemimpinan Walikota Ayep Zaky berfokus pada Konsolidasi Internal, Pemetaan ulang prioritas termasuk Peningkatan PAD, Restrukturisasi OPD, dan peninjauan RPJMD adalah keniscayaan, namun pertanyaan mendasar tetap pada seberapa jauh reformasi ini mengatasi akar masalah birokrasi yang lamban dan penempatan birokrat yang resisten terhadap perubahan. Klaim percepatan digitalisasi pelayanan publik, termasuk perizinan, dan Peningkatan PAD menuntut uji indikator ketat. Efisiensi yang dijanjikan harus dibuktikan dengan pengurangan rent-seeking behavior dan peningkatan transparansi, bukan sekadar pemindahan masalah atau penciptaan kesenjangan akses baru akibat literasi digital yang belum merata.
Arah Pembangunan Fisik dan Keterbatasan Visi Jangka Panjang
Sektor infrastruktur, kerap menjadi etalase keberhasilan, mendapat perhatian. Perbaikan jalan dan revitalisasi ruang publik memang esensial, namun pendekatannya harus lebih strategis. Apakah intervensi ini terintegrasi dalam visi pembangunan berkelanjutan, Tanpa road map serta masterplan komprehensif, perbaikan sporadis hanya menjadi tambal sulam. Penanganan kemacetan Sukabumi, misalnya, butuh solusi multidimensional: transportasi publik terintegrasi, tata ruang koheren, bukan sekadar pelebaran jalan. Demikian pula pengelolaan sampah, yang menuntut sistem hulu-hilir, investasi daur ulang, dan edukasi partisipatif, melampaui sekadar gerakan bersih-bersih simbolis, bertendensi sebagai upaya untuk popular pada hanya sebatas angka rating kepuasan publik tanpa substansi yang mendasar pada kebutuhan publik itu sendiri.
Kebijakan Kontroversial, Prioritas Anggaran dan Transparansi
Kinerja pasca 100 hari Walikota tak lepas dari sorotan tajam atas penerbitan Peraturan Walikota (Perwal) tentang kenaikan tunjangan DPRD, penggunaan APBD untuk gaji dan tunjangan Tim Komunikasi Percepatan Pembangunan. Di tengah seruan efisiensi dan fokus pada pelayanan publik, kebijakan ini memicu pertanyaan serius tentang prioritas anggaran dan sensitivitas pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Kenaikan signifikan ini, dalam narasi publik, bertolak belakang dengan semangat penghematan, berpotensi menimbulkan moral hazard, dan mengikis kepercayaan. Perwal ini menuntut penjelasan transparan tentang dasar hukum, justifikasi ekonomi, dan pertanggungjawaban etis atas penggunaan dana publik, kemudian menyorot Pelantikan Sekretaris Daerah kota Sukabumi yang cukup menggelitik hati dan mengundang pertanyaan.
Selain itu, tindak lanjut terhadap temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK menjadi ujian akuntabilitas fundamental. LHP BPK mencerminkan integritas pengelolaan anggaran, dan keseriusan dalam menindaklanjuti rekomendasi adalah indikator komitmen terhadap tata kelola yang baik. Tanpa langkah konkret dan transparan untuk menuntaskan temuan sebelumnya, citra pemerintah kota terkait integritas, efektivitas dan transparansi anggaran akan dipertanyakan termasuk didalam nya Transparansi RUP, sekaligus menguji kemampuan Walikota membersihkan “warisan” dan sisa-sisa masalah administratif.

Bayang-bayang Tata Kelola Pemerintahan Oleh Penguasa
Dugaan KKN dan Kesenjangan Akuntabilitas
Di balik narasi percepatan pembangunan, pasca 100 hari kerja Walikota Ayep Zaky justru diwarnai oleh kejanggalan signifikan dalam tata kelola pemerintahan yang mengarah pada dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kebijakan strategis yang tidak transparan dan tidak partisipatif, terkesan sentralistik dan dikuasai oleh segelintir pihak non-ASN, menimbulkan keraguan serius terhadap good governance.
Salah satu sorotan utama adalah pengangkatan tenaga ahli dan pembentukan tim komunikasi percepatan pembangunan. Meskipun keberadaan tim pendukung adalah hal lumrah, proses dan latar belakang individu yang ditunjuk memicu pertanyaan publik. Dugaan adanya rangkap tiga jabatan yang diemban oleh Ubaydilah menjadi isu krusial yang mengancam prinsip akuntabilitas dan efisiensi birokrasi. Lebih mencemaskan, informasi bahwa Didin Jalaludin, salah seorang yang masuk dalam daftar tim komunikasi percepatan pembangunan telah memicu kontroversi, secara fundamental mempertanyakan standar integritas dan etika yang dianut dalam pemerintahan Walikota. Keberadaan individu dengan catatan hukum dalam lingkaran kekuasaan dapat menimbulkan konflik kepentingan dan merusak kepercayaan publik terhadap komitmen anti-KKN.
Narasi bahwa pembangunan kota diatur dan dikuasai oleh segelintir orang yang bukan ASN semakin menguatkan indikasi adanya celah dalam mekanisme pengawasan dan partisipasi publik termasuk masyarakat jasa konstruksi yang tidak dilibatkan peran serta nya. Jika keputusan vital terkait proyek pembangunan didominasi oleh pengaruh di luar jalur formal oleh system patron yang dibentuk, maka risiko kolusi dan penyimpangan dapat meningkat drastis. Ini juga berpotensi mencederai profesionalisme ASN dan mengikis kepercayaan terhadap sistem meritokrasi.
Tak hanya itu, kebijakan keuangan juga tak luput dari kritik. Peminjaman dana ke Bank BJB untuk pembangunan BLUD Bunut serta rencana Pinjaman baru untuk PJU menjadi tanda tanya. Meskipun investasi pada fasilitas kesehatan dan Penerangan Jalan adalah prioritas, akan tetapi transparansi mengenai nilai pinjaman, persyaratan, dan rencana pengembalian dana dan besaran bunga pinjaman serta lama pinjaman harus menjadi prioritas utama, terlebih apakah sebanding dengan manfaat nya bagi publik warga sukabumi. Kemudian menyoroti adanya peran Yayasan Doa Bangsa pada posisi dan kebijakan tertentu, hal ini memerlukan klarifikasi yg komprihensif terkait hubungan kemitraan, proses seleksi, dan potensi konflik kepentingan agar tidak menjadi preseden buruk bagi tata kelola yang bersih.
Aspek-aspek ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya percepatan, fundamental akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola pemerintahan masih menghadapi tantangan serius. Konsistensi antara narasi “pemerintahan bersih” dengan praktik di lapangan, terutama terkait dugaan KKN dan pemilihan personel, menjadi kunci utama bagi kredibilitas Walikota Ayep Zaky di mata publik.
Respons Pemerintah terhadap Dinamika Isu Publik
Pascas seratus hari ini juga diuji oleh kemampuan pemerintah kota merespons isu-isu yang menjadi perbincangan hangat di media sosial dan masyarakat, seperti dugaan KKN, pungli, mal administrasi, insiden kecelakaan lalu lintas akibat kondisi jalan rusak, tawuran, gank motor, keluhan kekurangan pasokan air bersih atau listrik, hingga protes warga terkait pembangunan yang tidak transparan. Respons pemerintah terhadap isu-isu viral ini tidak hanya membentuk persepsi publik, tetapi juga mencerminkan tingkat responsabilitas dan komitmen terhadap good governance. Penanganan yang lamban, defensif, atau tidak transparan justru dapat mengikis kepercayaan yang telah dibangun, sehingga pemerintah tidak terjebak pada situasi saling lempar issue di media social yang semakin marak, menyoroti satu contoh Ketika walikota melempar issue tentang ada kebocoran penerimaan PAD.
Partisipasi Masyarakat dan Tantangan Demokrasi Substantif
Klaim mengenai dialog dan kunjungan ke lapangan adalah langkah awal yang baik, namun partisipasi publik yang substantif melampaui sekadar menyerap aspirasi. Ia harus mencakup mekanisme konsultasi inklusif di mana setiap kelompok masyarakat, termasuk yang rentan, memiliki suara dan dampak dalam perumusan kebijakan. Pemerintah harus menciptakan iklim yang kondusif bagi kritik konstruktif dan pengawasan publik, dengan kesediaan untuk menjelaskan setiap keputusan secara rasional dan transparan.
Epilog
Menakar Arah Kebijakan Menuju Sukabumi yang Berintegritas
Pasca seratus hari adalah periode singkat untuk mengukur dampak transformatif, namun cukup untuk melihat arah dan filosofi kepemimpinan. Walikota Ayep Zaky telah meletakkan beberapa fondasi, namun tantangan sesungguhnya terletak pada kemampuan untuk melampaui capaian simbolis menuju reformasi struktural yang berdampak nyata. Ini termasuk kemampuan mengatasi gejolak isu dari masyarakat, menjaga sensitivitas kebijakan anggaran, dan memenuhi tuntutan akuntabilitas atas temuan audit serta bayangan tata kelola yang meragukan, terutama terkait dugaan KKN dan keterlibatan figur kontroversial.
Masyarakat Sukabumi menaruh harapan besar. Kinerja pasca 100 hari ini harus dipandang sebagai titik tolak untuk mengevaluasi tidak hanya apa yang telah dikerjakan, tetapi juga bagaimana ia dikerjakan, dan apakah visi yang diusung mampu menjawab kompleksitas permasalahan kota di era yang terus berubah, termasuk dinamika isu viral yang menuntut responsabilitas tinggi dan kebutuhan akan tata kelola yang bersih. Sukabumi membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya responsif, tetapi juga visioner dan adaptif, mampu menerjemahkan harapan menjadi kebijakan yang kokoh dan berkelanjutan.
Walikota sudah kita pilih secara demokratis untuk memimpin Kota Sukabumi dalam lima tahun ke depan, untuk meletakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan selanjutnya dengan baik. Selamat Bekerja. (haji uloh)