
BUOL Indoglobe News
-Perayaan Hari Ulang Tahun Daerah (HUTDA) Kabupaten Buol ke-26 yang berlangsung meriah justru menyisakan perdebatan hangat di tengah masyarakat.
Bukan soal kemeriahan acara atau jumlah pengunjung, melainkan sebuah pertunjukan tarian Pato-Pato yang tiba-tiba menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan.
Ada yang terang-terangan menolak. Ada pula yang menerima dengan lapang dada. Di antara dua kubu yang berseberangan itu, muncul tuduhan bahwa tarian Pato-Pato telah mengesampingkan adat dan budaya asli Kabupaten Buol. Sebuah klaim yang tidak ringan, mengingat HUTDA seharusnya menjadi momentum memperkuat identitas lokal.
Namun, di tengah riuhnya pro dan kontra, muncul suara yang mencoba menenangkan. Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Buol, Dr. Tonang Malongi, mengajak masyarakat untuk membuka hati dan tidak mudah terprovokasi. Menurutnya, ini adalah soal literasi budaya—kemampuan kita memahami, menghargai, dan hidup berdampingan dengan keberagaman.
Menghargai Budaya Bukan Berarti Menghapus Identitas
Dr. Tonang menjelaskan bahwa wujud dari sikap menghargai budaya bukanlah sekadar menerima begitu saja, tetapi juga menghormati perbedaan dengan penuh kesadaran. Ini meliputi kemampuan untuk berempati terhadap orang lain, mempelajari budaya yang berbeda melalui berbagai kegiatan dan informasi, serta berpartisipasi dalam acara budaya tanpa menghina atau merendahkannya.
“Kita harus bersikap terbuka terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat, dan kepercayaan orang lain. Hindarilah prasangka yang bisa memecah belah,” Tulisnya di akun FB.
Ia menekankan bahwa menghargai budaya bukan berarti menghapus identitas lokal, melainkan memperkayanya.
Ketika kita mampu menerima kehadiran budaya lain, bukan berarti kita lemah atau kehilangan jati diri. Justru sebaliknya—kita menunjukkan kematangan dan kedewasaan sebagai masyarakat yang modern namun tetap berakar.
Empati dan Keterbukaan sebagai Kunci
Dalam pandangan Dr. Tonang, ada beberapa perilaku konkret yang menunjukkan sikap menghargai budaya.
Pertama, menunjukkan empati dengan berusaha memahami perasaan, pengalaman, dan pandangan orang lain.
Kedua, mempelajari dan mengapresiasi sejarah, adat istiadat, kepercayaan, bahasa, bahkan makanan dari budaya lain.
Ketiga, berpartisipasi aktif dalam kegiatan budaya seperti menghadiri pameran seni, menonton pertunjukan budaya, atau mengunjungi situs-situs bersejarah.
Keempat, menghormati hari raya atau upacara adat yang dilakukan oleh kelompok lain, sebagai bentuk penghargaan terhadap keberagaman.
“Kita juga perlu belajar bersama dan bekerja sama dalam kegiatan atau proyek yang melibatkan kerjasama antarbudaya. Ini akan membuka mata kita bahwa perbedaan itu indah dan memperkaya,” tambahnya.
Menjaga Ucapan dan Menentang Diskriminasi
Yang tidak kalah penting, Dr. Tonang mengingatkan agar masyarakat menjaga ucapan supaya tidak menyinggung SARA—suku, agama, ras, dan antargolongan—dalam kehidupan sehari-hari. Di era digital seperti sekarang, satu komentar yang tidak bijak bisa memicu perpecahan yang lebih luas.
“Kita juga harus berani menyuarakan sikap menentang diskriminasi dan ketidaksetaraan yang terjadi di masyarakat. Jangan diam saat ada yang diperlakukan tidak adil hanya karena perbedaan latar belakang,” tegasnya.
Dari Buol untuk Indonesia
Polemik tarian Pato-Pato di HUTDA Buol ke-26 ini sebenarnya bisa menjadi pelajaran berharga. Bahwa dalam setiap perayaan, dalam setiap kegiatan budaya, yang terpenting bukan sekadar menampilkan apa yang “asli” atau “bukan asli”, melainkan bagaimana kita membangun ruang dialog, saling memahami, dan menghargai perbedaan.
Buol, dengan segala kekayaan budayanya, memiliki kesempatan untuk menjadi contoh bagi daerah lain. Bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan. Bahwa literasi budaya bukan slogan kosong, melainkan praktik nyata yang harus dijalankan setiap hari.
Dirgahayu Kabupaten Buol ke-26. Dari Buol untuk Indonesia—bukan hanya dalam semangat pembangunan, tetapi juga dalam semangat toleransi, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman.
(Sudirman Sija IGN)