
Saksi Ahli : Itikad Buruk Dalam Perjanjian Bisa di Pidana
Pekanbaru indoglobenews.com – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan H Andri Putra SSi terhadap tergugat Arbakmis SH kembali bergulir di Pengadilan Negeri Pekanbaru, kemarin.
Kali ini sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ahli perdata Dr Surizki Febrianto SH MH dan saksi ahli pidana Dr Erdianto SH MH. Adapun majelis hakim diketuai Revi Damayanti SH MH dengan hakim anggota Roni Susanta SH MH dan Dharma Setiawan SH.
Saksi Ahli Perdata Dr Surizki dalam persidangan menyebutkan, kalau dalam perjanjian kedua belah pihak harus memiliki itikad baik. Hal ini diatur sebagaimana Pasal 1338 ayat 3.
Kemudian kuasa adalah salah satu bentuk perjanjian yang dapat berakhir bilamana salah satu meninggal dunia. ”Bilamana kuasa berakhir, maka tidak dapat digunakan lagi, jika tetapkan digunakan maka perbuatan hukumnya batal,” katanya.
Sementara, ketika ditanya S Marbun SH MH, kuasa hukum penggugat soal tergugat sudah pernah disanksi oleh dewan kehormatan Peradi karena tak profesional mendampingi kliennya, saksi ahli yang merupakan Kepala Prodi Magister Hukum Program Pasca Sarjana UIR ini menjawab, kalau putusan kode etik dapat disamakan dengan perbuatan melawan hukum.
Sementara saksi ahli pidana Erdianto dipersidangan menyebut, hubungan keperdataan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana bilamana ada itikad tidak baik pada saat perjanjian dibuat.

”Karena itikad buruk itu termasuk memanfaatkan lemahnya pengetahuan salah satu pihak dalam membuat perjanjian dengan maksud menguntungkan. Itikad buruk disamakan dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Ini bisa dipidana sesuai dengan Pasal 266 dan Pasal 264 tentang pemalsuan,” katanya.
Seperti diketahui, gugatan ini diajukan H Andri Putra SSi, karena tergugat Arbakmis (sebelumnya pernah menjadi kuasa hukum penggugat) diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus melanggar kode etik advokat.
Sebagai klien, H Andri Putra SSi seharusnya mendapatkan hak penuh atas pembelaan dan pendampingan hukum. Namun, justru sebaliknya, kuasa hukum yang semestinya memberikan perlindungan hukum dianggap tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Pekanbaru – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan H Andri Putra SSi terhadap tergugat Arbakmis SH kembali bergulir di Pengadilan Negeri Pekanbaru, kemarin.
Kali ini sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ahli perdata Dr Surizki Febrianto SH MH dan saksi ahli pidana Dr Erdianto SH MH. Adapun majelis hakim diketuai Revi Damayanti SH MH dengan hakim anggota Roni Susanta SH MH dan Dharma Setiawan SH.
Saksi Ahli Perdata Dr Surizki dalam persidangan menyebutkan, kalau dalam perjanjian kedua belah pihak harus memiliki itikad baik. Hal ini diatur sebagaimana Pasal 1338 ayat 3.

Kemudian kuasa adalah salah satu bentuk perjanjian yang dapat berakhir bilamana salah satu meninggal dunia. ”Bilamana kuasa berakhir, maka tidak dapat digunakan lagi, jika tetapkan digunakan maka perbuatan hukumnya batal,” katanya.
Sementara, ketika ditanya S Marbun SH MH, kuasa hukum penggugat soal tergugat sudah pernah disanksi oleh dewan kehormatan Peradi karena tak profesional mendampingi kliennya, saksi ahli yang merupakan Kepala Prodi Magister Hukum Program Pasca Sarjana UIR ini menjawab, kalau putusan kode etik dapat disamakan dengan perbuatan melawan hukum.
Sementara saksi ahli pidana Erdianto dipersidangan menyebut, hubungan keperdataan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana bilamana ada itikad tidak baik pada saat perjanjian dibuat.
”Karena itikad buruk itu termasuk memanfaatkan lemahnya pengetahuan salah satu pihak dalam membuat perjanjian dengan maksud menguntungkan. Itikad buruk disamakan dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Ini bisa dipidana sesuai dengan Pasal 266 dan Pasal 264 tentang pemalsuan,” katanya.
Seperti diketahui, gugatan ini diajukan H Andri Putra SSi, karena tergugat Arbakmis (sebelumnya pernah menjadi kuasa hukum penggugat) diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus melanggar kode etik advokat.
Sebagai klien, H Andri Putra SSi seharusnya mendapatkan hak penuh atas pembelaan dan pendampingan hukum. Namun, justru sebaliknya, kuasa hukum yang semestinya memberikan perlindungan hukum dianggap tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya (junaidi).
.